visiting

Jumat, 18 April 2014

Kutumpahkan seluruh hidupku...

Cinta. Itukah satu-satunya yang kita butuhkan didunia ini? Apakah hanya dengan mendapatkan cinta kita bisa bahagia? Apakah akan begitu sengsara saat seseorang hanya bisa mencintai tanpa sebaliknya? Apakah cinta benar-benar tentang member dan menerima? Apa hakikat cinta yang sebenarnya? Adakah teori tentang cinta yang benar-benar bisa kita terima dengan kedua akal dan perasaan?
Saya wanita berusia 20 tahun. Saat ini saya menjalani sebuah, yah, tidak bisa saya bilang sebuah hubungan namun kami menjalani ‘sesuatu’ yang biasa dialami oleh orang yang mengklaim diri mereka berpacaran. Pria ini sebut saja X. saya dan  dekat sejak akhir 2012. Hingga saat ini kami masih berhubungan. Untuk informasi, tidak ada hubungan apapun antara saya dan X. apapun. Tidak ikatan, tidak perjanjian, tidak komitmen. Tidak apapun. Namun sama mencintai X. ntahlah, setidaknya saya ingin menggunakan kata itu untuk saat ini. X bukan pria yang biasa menunjukkan bagaimana perasaannya kepada orang lain, apalagi tentang saya. Selama hampir 2 tahun ini, hanya orang-orang terdekat saya yang tahu antara saya dan X. hanya sahabat-sahabat saya yang tahu apa saja yang terjadi antara saya dan X. semua itu berlangsung begitu saja. Saya menjad seseorang yang beda, setidaknya begitulah pengakuan dari sahabat saya. Saya bisa lebih bersabar dan menerima apa saja yang diberikan kepada saya, mungkin bisa dibilang apa yang saya bisa dapat. X tipe orang yang sangat tertutup, independen, dank eras. Percayalah semua yang saya tulis ini benar-benar tentang apa yang saya alami dan saya rasakan. Tidak ada keuntungan apapun untuk memanipulasi hal-hal diatas.
Beberapa waktu lalu, saat saya merasa sudah saatnya saya menyerah dengan kondisi seperti ini, muncullah seorang pria lainnya. Saya akan sebut dia Y. Y datang dengan semua hal yang saya ingin dapatkan dari seorang pria, yah yang mengaku menyayangi saya. Disini saya sadar kalau saya benar-benar menjadi seseorang yang berbeda. Dulu, siapapun orang yang bisa memberikan apapun yang saya butuhkan, yang tidak saya dapatkan dari seseorang yang saya inginkan, saya akan begitu mudah move on, ya itu kalimat remaja kini. Tapi tidak dengan yang saya alami saat ini. Saya dan Y bisa sempat berpacaran selama—kurang lebih—3 hari, dan saya memutuskan untuk menghentikannya sebelum terlambat. Saya mengaku bahwa saya masih merasakan sesuatu yang biasa terhadap Y, tidak seperti yang saya rasakan pada X. 3 hari masa percobaan itu, hanya rasa bersalah yang saya rasakan. Apapun yang Y lakukan pada saya, apapun yang Y berikan, dan apapun yang saya dapatkan dari Y, semua itu tidak secuilpun menggeser apa yang saya rasakan pada X. Saat ini saya benar-benar merasa tidak mengenal siapa saya. Apa saya benar-benar jatuh cinta? Tapi bagaimana?
Sekarang saya tahu mengapa tidak pernah ada alas an untuk seseorang jatuh cinta. Ketahuilah, saat seseorang berkata dia jatuh cinta dan memberikan alas an setelahnya, dia tidak benar-benar merasakan cinta. Dia hanya berpikir kalau dia jatuh cinta. Ingatlah bahwa cinta itu bukan sesuatu yang dipikirkan, namun dirasakan. Memang sulit dan kita harus benar-benar teliti untuk menerka cinta. Saya tidak akan mengangkat teori apapun tentang cinta ataupun membahas cinta. Maslow dan Sternberg boleh saja berkoar banyak tentang cinta menurut mereka, tapi disini saya berteriak semua hal tentang cinta menurut fakta yang saya alami. Setiap orang berhak mengklaim teori mereka sendiri. Percayalah. Tidak ada teori yang benar-benar bisa mendeskripsikan cinta secara universal. Karena cinta itu hanya bisa dirasakan.
Sekarang kembali ke paragraph awal.
“Cinta. Itukah satu-satunya yang kita butuhkan didunia ini? Apakah hanya dengan mendapatkan cinta kita bisa bahagia? Apakah akan begitu sengsara saat seseorang hanya bisa mencintai tanpa sebaliknya? Apakah cinta benar-benar tentang memberi dan menerima? Apa hakikat cinta yang sebenarnya? Adakah teori tentang cinta yang benar-benar bisa kita terima dengan kedua akal dan perasaan?”

Apakah cinta satu-satunya yang dibutuhkan? Tidak. Apakah hanya dengan mendapatkan cinta bisa bahagia? Tidak. Apakah akan sengsara apabila hanya mencinta? Tidak. Apakah cinta tentang memberi dan menerima semata? Tidak. Adakah teori cinta yang benar-benar bisa diterima akal dan perasaan? Tidak. Apa hakikat cinta sebenarnya? Tidak ada. Yah, memang setidak jelas itu apabila kita membicarakan tentang cinta dan cinta. Apakah ibu memiliki alas an untuk mencintai kita? Karena kita anaknya? Karena kita darah dagingnya? Karena kita dari rahimnya? Karena kita titipan Tuhan? Tidak. Beliau mencintai kita karena beliau ingin mencintai kita. Tanpa alasan apapun. Alasan hanyalah sesuatu yang bertugas membawa semua pergi bersamanya. Saat tidak ada alasan, kita tidak tau apa yang pernah kita rasakan, lakukan, dan berikan. Cinta tidak memilih dan dipilih. Cinta tidak menilai dan dinilai. Cinta tidak menerima dan diterima. Tapi cinta adalah cinta. Cinta itu tentang cinta. Cinta hanyalah cinta, tidak bersama apapun.

This is my opinion, what's yours?

Dalam kenyataannya, seringkali kita menilai apa yang kita lakukan dan membandingkannya dengan apa yang terjadi pada orang lain. Keberhasilan diukur dengan perbandingan keberhasilan orang lain, kesuksesan diukur dengan perbandingan kesuksesan orang lain, bahkan kegagalan dan kehancuran juga sering dilihat dari sejauh mana orang lain menyelesaikan kewajibannya. Tapi sesungguhnya, pernahkah kita berpikir dan mencoba menyadari bahwa setiap manusia punya perbedaan yang sangat bisa diubah untuk disamakan? Oke, mungkin bahasa saya terlalu berbelit. Begini contohnya, seorang mahasiswa (X) yang menempuh pendidikan S1 Psikologi mengukur tingkat kegagalannya dengan perbandingan nilai yang diperoleh oleh temannya (Y). Padahal mereka memiliki kesibukan yang sama, waktu yang sama, dan pendidikan yang sama. Dimana perbedaannya? YUP! Komitmen. Sejauh mana komitmen kita terhadap diri sendiri itulah yang bisa mengubah sebuah perbedaan. Setiap orang yang ingin berhasil, harus memiliki komitmen terhadap apa yang dia jalankan, minimal kepada dirinya sendiri. Kita lihat mahasiswa ini, apa dia memaksimalkan setiap detik waktunya dengan baik? Mungkin temannya (Y) memang lebih cerdas sehingga masih lebih mudah mendapatkan nilai tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. Itu perbedaan. Jika X memiliki komitmen lebih tinggi dari Y, dia bisa saja menutupi setiap perbedaannya dengan menyamakan hasil yang diperoleh. Itu persamaan. Menurut Galileo Galilei, RUMPUT YANG PALING KUAT, TUMBUHNYA DIATAS TANAH YANG PALING KERAS. Keberhasilan yang paling besar, didapat dari seseorang yang paling hebat, itu menurut saya. Kita bisa memilih, mau hebat untuk dan karena orang lain, atau hebat untuk dan karena diri sendiri. That's my opinion, what's yours?